Migrain

migrain
sumber: tanyadokteranda.com
Tiada hari tanpa keluhan. Kadang saya merasa wajar jika saya mengeluh, “toh saya adalah manusia“, demikian pembelaan saya terhadap diri saya sendiri setiap saya mengeluh. Beberapa hari ini saya suka migrain, sakit kepala sebelah pada bagian tengkorak koyo sebelah kiri.

Biasanya kejadiannya berlangsung singkat. Tidak sampai 5 menit saya sakit kepala kemudian sudah sembuh dengan sendirinya begitu saya menekan-nekan pada bagian yang berdenyut-denyut itu. Tetapi, kadang begitu saya terlalu banyak mengkonsumsi cahaya (seperti berada di terik matahari, atau di depan komputer) rasa sakit itu kembali muncul. Mungkin itu erat kaitannya dengan masalah optik mata saya.

Aneh sekali rasanya. Menurut yang saya baca, otak adalah salah satu bagian tubuh yang tidak merasakan sakit. Karenanya, jika seorang dokter akan melakukan pembedahan otak, yang dibius tentu bukan otak si pasien. Saya tidak tahu benar atau salah tentang hal itu, untuk pastinya silahkan bertanya kepada dokter terdekat.

Rasa sakit kepala lebih ditimpulkan oleh saraf-sarat yang berada di daerah tengkorak kepala. Mungkin ada sebuah pertanyaan besar yang selama ini masih menghantui saya: APAKAH RASA SAKIT ITU?

Saya sering bertanya, mengapa manusia memiliki rasa sakit? Karena ada beberapa anomali manusia yang tidak memiliki rasa sakit, dan menurut data orang-orang tersebut lebih cepat mati karena mereka alpa tentang apa yang sedang mereka derita dikarenakan tidak adanya rasa sakit. Jadi, apakah rasa sakit itu rahmat?

Beberapa orang mengatakan bahwa, rasa sakit pada manusia adalah sebuah early warning. Misal, seseorang yang begitu kelelahan akan terserang demam agar tubuhnya lebih banyak beristirahat. Dan orang yang terlalu banyak bergonta-ganti pasangan tidak sah akan terserang penyakit kelamin biar mereka dituntut untuk setia kepada satu pasangan. Saya tidak paham benar, apakah desas-desus yang selama ini berkembang di masyarakat itu benar, atau cuma sebuah mitos.

Yang jelas, saya migrain. Jika saya mencoba bertanya kepada kakak saya yang konon katanya sedang mengambil spesialis pulmo itu, maka bukan sebuah jawaban ilmiah penuh dengan istillah-istillah medis atau bahasa abstrak yang berlogat Yunani yang saya temukan, tetapi lebih kepada sebuah hardikan, celaan, dan repetan yang malah menyalahkan saya bahwa itu sakit saya yang buat-buat sendiri. Katanya, itu adalah sebuah tulah, yang terjangkit akibat tidak sportifnya saya dalam mengurus waktu.

Sempat saya ragu. Apakah kakak saya itu seorang dokter tulen atau tidak? Kenapa setiap saya sakit malah saya kena semprot amarah dan bukannya sebuah obat yang hadir di hadapan saya. Malah, alih-alih memeriksa adik tercintanya ini malah yang ada adalah saya disuruh ke dokter yang lain. Semakin hari kecurigaan saya semakin meningkat, tetapi ya sudahlah, tidak perlu kita acuh dengan hal itu dulu.

Mari kita berbicara kembali tentang penyakit kambuhan saya ini. Migrain ini amat mengganggu. Tetapi ada satu hikmah yang dapat saya ambil dari penyakit saya ini. Tidur saya terasa lebih nikmat jika sudah kena penyakit ini, dan otomatis saya lebih mudah pulas agar kantuk itu menjadi obat temporer penyakit itu. Masalahnya adalah, kantuk membuat produktivitas saya menurun, dan turunnya produktivitas menyebabkan naiknya harga amarah orang-orang rumah dan kata-kata orang bahwa saya adalah seorang pemalas.