Menulis dengan Hati

Si Jo Na menulis sebuah artikel yang berjudul “Menulis dengan Hati” dan aku ingin menuliskan pengalaman yang serupa. Sebenarnya, menulis dengan hati itu masih merupakan ilmu baru bagiku, sebelumnya aku masih berkutat dengan rima dan diksi. Jadi, kebanyakan tulisanku selalu aku usahakan memiliki rima dan diksi yang mudah mengena di hati jika dibaca keras atau dibaca dalam hati.

Menulis dengan hati aku dapatkan dari bukunya Gola Gong yang berjudul: “Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup

Di sana ditekankan bahwa ketika kita menulis, yang paling penting dari sebuah tulisan adalah isi. Sekali lagi ditekankan, isi-lah yang menjadi hal terpokok dalam sebuah tulisan dibandingkan dengan diksi, rima, gaya penulisan, dan sebagainya. Karena, apa yang akan dikenang oleh pembaca bukanlah gaya bahasa kita, bukan pula diksi, tetapi isi. Itulah yang akan selalu dikenang.

Aku teringat dengan sebuah cerpen pertamaku yang dibedah oleh FLP, judulnya: “Melata Seperti Sundal“. Gaya bahasa yang aku gunakan terkadang membuat orang geleng-geleng kepala. Aku memang tidak membuat kata-kata yang menjurus ke hal jorok seperti salah seorang tokoh penulis Aceh yang sering disapa dengan penyair cabul, karena tulisan-tulisannya tanpa resah menggunakan kata-kata: onani, masturbasi, dan lain sebagainya. Hal terparah dalam tulisan Melata Seperti Sundal itu adalah kata-kata: “Aku makan perempuan itu. Bulat-bulat. Mentah-mentah.

Sinopsis cerita itu sendiri begini:

tersebutlah seorang lelaki dengan nama Pria, dia adalah seorang penjahat kelamin dan suka menggoda wanita. Suatu hari dia menggoda seorang wanita yang dianggap hampir semua lelaki susah ditaklukkan, namun ternyata dia mampu. Wanita yang digodanya itu kemudian dia tinggalkan setelah berpuas-puas.

Suatu hari, wanita yang bekas dipakainya itu telah dikenal sebagai cewek gampangan dan menjual diri. Orang-orang sering menjelek-jelekkannya, bertajassus istillahnya.

Cerita itu menekankan bahwa, orang-orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain tidak lebih buruk daripada orang yang mereka jelekkan. Sayangnya saja mereka tidak memiliki kesempatan untuk selingkuh. Mereka seperti sekumpulan orang munafik.

Lelaki itu juga pernah menggoda wanita yang menggunakan jubah yang disangka orang adalah sekolompok alim, ternyata sama saja. Jubah itu tak lebih dari sekedar aksesoris.

Namun dipenghujung cerita diceritakan bahwa bidadari itu benar-benar ada. Mereka tidak suka menjelek-jelekkan orang lain dan jika digoda mereka menghindar. Mereka, para bidadari, adalah orang-orang yang selalu menjaga kesuciannya untuk suami mereka kelak, dan bukan untuk menjadi bekas lelaki lain atas nama cinta.

Dan diakhir cerita, saya memberikan sebuah gambaran bahwa tidak ada kata telat untuk bertobat dan mengubah keadaan. Beberapa orang yang dulu diperguncingkan, mereka yang dianggap pelacur, telah bertobat dengan sebenar-benar tobat dan menjadi bidadari.

Itulah sebenarnya inti dari cerita Melata Seperti Sundal yang ingin aku ceritakan, namun mungkin karena bahasa yang aku gunakan terlalu vulgar dan membuat resah, inti cerita tersebut terkaburkan. Karena cerita di atas, oleh beberapa orang ideologi-ku patut dipertanyakan.

Karena telah terstigma dengan kata-kata yang terlalu resah dibagian pertama, maka apa yang ingin aku sampaikan terkaburkan oleh para pembaca. Pembiasan makna. Reduksi. Padahal, sejatinya aku ingin menceritakan pengalaman salah seorang temanku, bahwa belum terlambat bagi dia untuk bertobat. Dan aku berharap, untuk orang-orang yang membaca, begitulah watak lelaki ketika seorang wanita memberikan semuanya kepada orang yang sering menggunakan kata-kata cinta. Ketika semua manis telah menjadi sepah, ya siap-siaplah untuk ditinggalkan.

Membaca buku Gola Gong tadi malam, membuatku ingin mengubah semua alur ceritaku. Apa yang ingin aku sampaikan haruslah mengenai pembaca. Pesan-pesan itu jangan lagi sampai terdistorsi dengan adanya keresahan ketika mmebaca. Dan mulai semalam, sedapat mungkin ingin aku gunakan kata-kata yang santun ketika hendak bercerita.

Jika berbicara masalah hati, tulisan-tulisan Jo Na aku rasa lebih memiliki hati dan pesan moral daripada tulisan-tulisanku. Aku paham, ada yang ingin dia ungkapkan dari tulisan-tulisannya, sesuatu keinginan untuk menjadi lebih berharga, namun karena ditulis dengan penuh pertimbangan, ruh tulisan itu seperti hilang. Yang ada hanyalah aksara-aksara mati tanpa jiwa.

Kita semua sedang berproses, untuk menjadi lebih berarti.