Menjadi Apapun, Siapapun

Aku suka bergonta-ganti peran. Menjadi apapun, siapapun. Namun sayangnya, aku terjebak dengan karakter-karakter yang aku perankan. Aku menjadi reduksi, distorsi, aku kehilangan Aku yang sebenarnya. Aku mencari, namun dia telah lari.

Aku sering menyebut AKU yang hilang itu dengan “dia” atau “pria” atau “lelaki itu”. Aku kehilangan dia, seorang lelaki yang adalah pria (permainan kata yang memusingkan).

Pertama lahir, aku dididik dalam peran manja. Karakter khas seorang anak terakhir, lelaki satu-satunya. Apapun keinginanku selalu ada. Aku tidak diijinkan keluar rumah terlalu larut, bahkan diwajibkan tidur siang. Aku tidak boleh memegang pisau, tidak boleh mencuci, tidak boleh memotong, dan semuanya. Segala hal serba tidak boleh.

Beranjak kecil, aku menjadi anak yang nakal. Aku riang, suka bermain, dan seorang pemberi. Terkadang aku suka berantam, namun berantam dalam artian canda. Aku pun kadang suka menangis. Oleh temanku, aku diajari bagaimana mencuri mangga, curi-curi makan saat puasa. Namun sedari itu, aku begitu tidak nyaman.

Kelas 6 MIN aku sedikit berubah. Aku tidak suka berkelahi lagi, malah aku lebih sering menjadi anak yang terkalahkan. Aku tidak pernah belajar, dan menjadi anak yang bodoh.

Beranjak MTsN, aku mulai beda. Di antara teman-teman aku periang, di rumah juga, namun tidak di lingkungan. Waktu itu, aku baru mulai belajar berjalan menunduk. Di sini, aku belum belajar dosa. Awal ini pula aku begitu kaku dengan lingkunganku. Aku menjadi sepert Social Phobia, suka grogi di tengah orang banyak yang tidak aku kenali.

SMU adalah waktu-waktu ketika aku mulai mengenal dosa. Di internet, aku mengetahui segalanya lebih dari apa-apa yang cuma temanku perbincangkan. Namun lebih sering aku diam dan mendengarkan mereka berbicara tanpa mau menyela. Ketika mereka berbicara tentang wanita antar sesama pria, aku telah belajar jauh daripada itu. Aku menjadi sesat.

Namun sesatku tidak pernah membuatku berani untuk berterus terang, hingga saat ini.

Waktu kuliah. AKU semakin menipis. Bahkan kemungkinan besar telah hilang. Ketika itulah aku berada dalam kesesatan sesesat-sesatnya. Namun tak ada yang tahu betapa terpuruknya aku ketika itu. Daripadanya lahir bait-bait rintihan tentang kerinduan dhuha, tahajud. Aku rindu, namun aku terlalu jauh telah melenceng.

Peran-peranku seperti paku yang menancap tiang-tiang. Walau telah pudar, namun bekasnya tak pernah hilang. Itulah yang Tuhan katakan dengan aib. Jika Tuhan telah menutupinya, maka janganlah dibuka.

Peran-peran yang lain masih banyak. Aku pun lupa, entah peran apa saja yang pernah aku mainkan. Aku bingung: siapa aku?

Peran-peran itu saling mendompleng. Satu sama lain saling menyikut, ingin menjadi eksis menjadi aku sebenar aku. Aku: menjadi apapun, siapapun.