Mengapa Aku Malas Infak

Akhir-akhir ini aku malas infak.

Bukan apa-apa, tapi sepertinya kok di Banda Aceh ini semakin banyak saja pengemis. Dan rasanya mengemis itu bukan lagi suatu yang memang dilakukan karena terpaksa, namun sudah menjadi pekerjaan tersendiri.

Jangan salah, omset mengemis itu satu bulan lebih tinggi daripada gaji seorang PNS.

Kadang aku kecewa dengan para pengemis. Mereka sepertinya tidak sadar, akibat kebanyakan dari mereka yang mengemis untuk pekerjaan telah membuat banyak orang menjadi apatis dengan kemiskinan. Paling tidak contohnya aku.

Aku mulai moh untuk infak. Dalam pikiranmu tersirat, jangan-jangan mereka penipu.

Dulu waktu zaman SMU, aku ke sekolah dengan jalan kaki. Biasanya ketika pulang, waktu di jalan raya aku suka melihat pengemis di lampu merah Jambo Tape, dia seorang pengemis buta. Tapi sudah bisa ber-hp ria, bahkan ketika itu Bapakku saja belum punya hp (hiperbola sedikit).

Pernah lagi suatu ketika dia dijemput oleh istrinya, dan… masya Allah. Itu gelang emas istrinya bejibun.

Apakah mengemis menjadi pilihan dimana banyak pilihan yang lain?

Aku terkadang kagum dengan orang-orang yang berusaha dengan tangannya sendiri untuk mencari kerja. Di dekat Bank BPD, ada sebuah kios kecil. Orang yang menjaga kios itu ternyata lumpuh, dia pemakai kursi roda tapi kelumpuhannya tidak membuat dia menguatkan tekad menjadi pengemis. Dia lebih memiliki baja untuk tetap menegakkan muka tanpa merendah. Dia masih memiliki harga diri.

Atau ketika aku ikut acara Pertemuan Teknik Mesin Seluruh Indonesia di AAC. Selepas acara aku ke luar gedung dan kulihat seorang ibu tua sedang memunguti sisa-sisa aqua. Dengan telaten dia menguliti tutup aqua dengan silet sembari bercanda dengan penunggu gedung. Aku lebih bangga melihat ibu tua itu daripada mereka-mereka yang menggantungkan nasipnya dengan memohon belas kasih.

Miris. Terlalu miris saat aku mengetahui nan di pulau Jawa sana, mengemis menjadi semacam sindikat. Bahkan ada seorang ketua pengemis yang mengkoordinir pengemis yang lain. Bahkan sempat naik haji dengan omsetnya sebagai pengemis. Bangga! Masya Allah…

Masih banyak lagi cerita yang membuat miris dan skeptis terhadap pengemis dewasa ini.

Jika rasa malu telah tercabut dari bangsa ini, mau dibawa kemana arah perjalanan bangsa?

Wajah pengemis menjadi cerminan muka Indonesia. Begitulah kita, selalu menjadi bangsa peminta-minta.

Kapan ini harus terus berlanjut? Anda penentu jawaban ke depan.