Kata murabbi-ku, dakwah ini perlu regenerasi, karenanya kelompok kami diwajibkan untuk mencari binaan, minimal satu orang. Kita tidak cukup menjadi orang saleh, namun dalam agama dakwah ini kita dituntut agar menjadi bekal bagi kesalehan orang lain. Mungkin dakwah ini akan berjalan di tangan kita, namun jika kita telah habis masa maka akan berhenti jika tidak ada proses berkelanjutan dalam membina suasana tarbawi ini.
Ketika dipaparkan hal demikian, aku cuma terdiam. Diam yang mendalam.
Aku merenung. Jangankan untuk memberi makan hati orang lain, untuk memberi seteguk iman kepada hatiku sendiri saja aku kerepotan. Aku compang-camping. Mungkin tanpa berada dalam lingkungan orang-orang yang ketika berada di dekat mereka kita menjadi tenang, aku akan lebih liar dari saat ini. Bahkan ketika berada bersama mereka, aku masih belum lagi mampu menegakkan muka.
Aku melihat teman-temanku. Ada Pemuda Badar, Faisal, Yusuf, Mirza, Acul, Rizki, dan Wanda. Di mataku, mereka adalah sosok-sosok yang hebat. Dropnya amalan mereka masih lebih bagus dibandingkan dengan full-nya amalanku. Yang paling menyedihkan adalah, aku menyesali namun terus saja mengulangi.
Jujur. Aku belum siap mencari binaan. Walau memang, tidak harus aku yang membina. Cukup mengajak seseorang, merangkulnya dalam buhul-buhul tali persaudaraan keimanan. Nanti akan ada orang-orang saleh lain yang akan membimbing mereka, bagaimana seharusnya seorang muslim sejati bersikap, berpikir, dan bekerja.
Aku merasa, aku telah begitu terlalu banyak tertawa dibandingkan menangis. Padahal, jika mengingat dosa-dosaku, seharusnya aku akan lebih sering pingsan mendekati kematian daripada cuma sekedar menangis. Andai manusia tahu betapa banyak dosa-dosaku. Beruntung Tuhan menutupi beberapa aibku. Tuhan masih terlalu sayang padaku.
Hampir semua teman haloqah-ku telah memiliki binaan sebelumnya. Hanya aku yang tidak memiliki pengalaman dalam membina seseorang. Aku cenderung menghindar selama ini. Ketika dulu ditawari menjadi mentoring pada program UP3I di kampus, aku menolak. Bagiku, aku masih terlalu hina untuk mampu bertatap muka dengan orang-orang lantas bercerita tentang keimanan padahal sejatiku masih begitu kosong, karut-marut, dan terseok-seok. Aku belum siap.
Sampai tulisan ini aku telurkan. Aku masih dalam kebingungan.