Di beberapa kami sempat terjadi perbincangan, tentang seorang ustad yang meminta dibayar mahal untuk berdakwah. Bagiku, dia seperti ustad palsu. Karena dia meminta dunia, bukan akhirat padahal sejatinya dakwah adalah pengorbanan harta dan jiwa. Bahkan seharusnya kita yang membayar agar orang mau mendengarkan dakwah kita.
Sejatinya dakwah adalah menukarkan dunia dengan akhirat.
Kita kembali mempertanyakan, adakah keikhlasan ustad tersebut dalam berdakwah? Taruhlah ustad tersebut berjiwa enterpreneur, namun apakah harus dengan membisniskan lahan dakwah? Padahal begitu banyak pahala yang diperoleh dari dakwah namun menjadi tiada nilai ibadah lagi ketika dia mengharapkan materi daripadanya.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahf : 28)
Berarti ada yang salah dengan hati kita. Beberapa penyeru Islam lampau tidak mencari makan dengan mengingatkan orang. Mereka tidak mencari sesuap nasi dengan berdakwah. Malah mereka bertahan kelaparan, siap didera siksa demi dakwah. Mereka korbankan harta dan jiwa demi berdakwah. Bukan malah sebaliknya. Berarti, ada yang telah salah dalam diri kita.
Masihkah kita meminta orang-orang yang tiada keikhlasan dari diri mereka untuk mengingatkan kita, padahal mereka mengingatkan diri mereka sendiri saja tidak mampu. Masihkah kita meminta mereka memberikan tausiah-tausiah padahal mereka tidak mengerti apa yang mereka katakan itu.
Mungkin mereka memang hebat dalam beretorika. Membuat kita semua terpana, membuat kita seperti terhipnotis dengan kata-katanya yang syahdu, padahal itu semua cuma kata-kata kosong tanpa makna. Mereka tidak lebih dari para penjual ayat-ayat Tuhan.
Bagaimana kita mampu tershibghah oleh mereka padahal kata-kata mereka sendiri tak mampu menshibghah diri mereka.
Mempertanyakan lagi keikhlasan. Sudah ikhlaskah kita dalam berdakwah?