Hari ini, 26 Desember 2010 adalah memorial peringatan tsunami keenam. Enam tahun yang lalu suatu peristiwa mahadahsyat telah terjadi di sini. Menurut data Bakornas, tidak kurang 120.000 jiwa merenggang nyawa. Hari itu juga hari Minggu, satu hari setelah natal tiba, 26 Desember 2004.
Aku mengingat peristiwa itu. Beberapa senter kudengar, di Jawa sana mereka mempersalahkan tsunami di Aceh karena keinginan Aceh untuk memisahkan diri dari Indonesia. Itu adalah hukuman bagi Aceh, begitu para pemberi khutbah di sana menuturkan.
Di sini, aku dengar lagi. Mungkin kelak jika Quran belum turun, peristiwa ini pun akan diberitakan dalam ayat-ayat suci. Suatu peristiwa yang datang begitu tiba-tiba. Ketika air hitam setinggi 30 meter menghampiri manusia datang dengan kekuatan yang begitu dahsyat. Memporak-porandakan segala. Manusia, tidak tua dan muda, tidak buruk dan baik, mati. Kebanyakan manusia yang mati dalam keadaan bertelanjang. Apakah itu cerita tentang suatu kaum yang ingkar? Aku tidak tahu pasti.
Dulu, aku melihat. Ketika peristiwa itu telah berlalu, di mesjid-mesjid orang bersesak menunaikan hajat serta memperbanyak menyebut nama Tuhan tanpa cela. Sekarang, seperti alunan tsunami yang menggoncang, segalanya pun kembali surut. Seperti sedemikian kala.
Sebagian orang bertanya. Mengapa tidak negeri-negeri kafir saja yang diberikan bala? Mengapa harus Aceh yang bergelar Serambi Mekkah! Sebuah negeri yang rakyatnya mati terbunuh untuk menuntut merdeka. Suatu negeri yang orang-orangnya harus bersembunyi di hutan-hutan untuk meminta syariat Islam ditegakkan. Mengapa harus di negeri ini?
Itu karena Tuhan masih sayang kita. Atau mungkin juga karena Tuhan telah terlalu muak dengan kemunafikan kita.
Apakah engkau tahu kawan. Saat sebelum tsunami datang dan meluluh-lantakkan segala, apa engkau melihat wajah negeri ini? Kebobrokan birokrasi di mana-mana. Orang mesum ada di setiap jengkal negeri ini. Tengoklah itu di pantai-pantai sebelum hari itu tiba, apakah engkau akan menemukan kondom-kondom yang telah lusuh digunakan? Dan engkau lihatlah itu kawan, wanita-wanita yang menjual harga dirinya kepada para tentara. Mengingat itu, aku teramat sangat benci.
Memori kengerian itu telah padam dan surut. Orang-orang kembali bertingkah memuakkan seperti dahulu. Mereka yang berlari ke hutan memang sekarang telah turun ke jalan. Mereka tidak lagi berjalan dengan kaki-kaki mereka, namun telah pongah dengan kendaraan-kendaraan mewah mereka. Menjual negeri ini demi perut semata.
Lihat kawan, ketika malam minggu tiba. Betapa banyak ruang-ruang gelap telah penuh, menunggu untuk digerebek oleh massa lantas kemudian dengan nama adat, mereka dinikahkan. Kawan, ini negeri syariat! Tetapi hukum yang kami gunakan adalah hukum adat, bukan hukum syariat. Sudah lebih pintarkah kita dibandingkan Tuhan.
Bolehkah aku menutup mata? Jika pengganti tsunami tiba. Semoga kita benar-benar insap.
Memorial tsunami adalah sebuah perenungan tentang makna hidup, kelak kita semua akan mati. Mungkin jika kita melihat orang-orang yang meninggal satu-satu tiada akan berbekas lagi karena telah keringnya hati kita. Maka Tuhan perlihatkan, ribuan jiwa yang dicabut dalam sekali waktu. Tidakkah kita kembali ingat, kelak kepada Tuhanlah kita akan kembali.