Memilih Kerikil Yang Terbaik

Tiba-tiba Tuhan berdirikan aku di hamparan ratusan, ribuan, jutaan, milyaran, trilyunan kerikil. Seperti padang pasir yang mahaluas, tetapi ini bukan pasir, ini adalah kerikil-kerikil.

Tuhan memintaku berjalan sesanggup yang aku bisa, tak ada paksaan, tak ada celaan. Dia hanya ingin melihat sampai batas mana kesanggupanku. Dan berapapun kesanggupanku, dia selalu tersenyum. Ini yang terkadang membuat aku jengkel, mengapa tidak pernah memarahi dan mengapa harus selalu senyum. Mungkin untuk itu, aku akan segera menemukan jawabannya.

Aku berjalan di atas kerikil-kerikil tajam. Tuhan memintaku mengambil kerikil-kerikil tersebut, memilahnya, dan menyimpan kerikil yang terbaik.

Sungguh, ada begitu banyak kerikil dalam jutaan ragam dan bentuk. Terkadang ada yang begitu indah dari luar namun rapuh dari dalam, terkadang ada yang begitu kokoh namun kusam, ada yang standar, ada yang begitu berharga.

Tuhan tidak memintaku menyimpan yang terbagus, tidak memintaku menyimpan yang terkuat, tetapi memintaku menyimpan yang terbaik. Yang terbaik menurutku.

Ini bagaikan sebuah tembok standar, yang mana di tengah tembok tersebut terdapat sebuah celah. Adalah tugasku untuk menutup celah itu sesempurna mungkin. Maka bergeraklah aku mencari batu yang cocok untuk menutupi celah tersebut.

Ada batu yang begitu berharga, namun tidak cocok untuk tembokku menjadi sempurna, terkadang aku menemukan batu dengan warna yang dominan namun begitu rapuh hingga akan mengganggu keseimbangan tembok.

Di sini, aku dituntut untuk tidak memperturutkan nafsuku. Akan aneh jadinya jika aku menutupi celah tembok itu dengan batu yang begitu berharga atau begitu indah. Yang ku perlukan untuk menutup celah itu adalah dengan menggunakan batu yang sederhana, yang sesuai aslinya. Maka jadilah dia sempurna.

Dalam hidup, sebagai manusia aku dituntut untuk memahami karakter-karakter dasar yang diberikan padaku dan aku memahami terkadang manusia melihat sesuatu itu dengan buram. Mereka memandang terlalu baik kepada kecantikan, harta, dan wawasan. Padahal mungkin yang mereka butuhkan bukan itu.

Manusia memilih jalan hidupnya sendiri saat berjalan di atas hamparan padang kerikil. Mereka berebut, dengan sikap tamak dan dengki. Mereka saling sikut memperebutkan kerikil yang terbagus atau termahal. Padahal yang mereka butuhkan untuk menjadi sempurna adalah hanya kerikil yang sederhana bahkan mungkin disepelekan.

Itulah manusia. Dan dalam episode kali ini, aku juga menjadi manusia.

Kembali ke perjalananku di hamparan padang kerikil. Saat ini aku masih terus berjalan, menganalisis, memilah kerikil yang cocok untukku. Kerikil yang terbaik, yang akan membuatku menjadi sempurna.

Hingga detik ini, aku belum menemukannya. Dulu aku pernah menyimpan batu kerikil yang begitu indah. Ku genggam dia setiap malam. Ku bawa dia dalam tidurku, hidupku, bangunku, nafasku. Namun kerikil itu berontak dan aku pun melepaskannya. Meletakkannya kembali di hamparan hingga berharap seorang pengembara lain akan menemukannya, menjadikannya sebagai penyempurna.

Hidup memang pilihan. Dan waktu terkadang begitu abstrud… sangat membingungkan. Ada yang membutuhkan waktu singkat untuk menemukan kerikil sempurnanya, terkadang ada yang seumur hidup tak mampu mengambil kerikilnya karena selalu berada dalam keraguan.

Tuhan, bantu tanganku untuk mengambil kerikil yang terbaik. Tak apa jika jalanku sedikit pincang oleh tajamnya kerikil yang kau sebarkan.

Jangan terburu-buru teman. Pilihlah kerikilmu dengan santai. Sengaja Dia menciptakan kerikil dan bukan pasir adalah agar kau tidak berlari-lari di padang itu. Dia ingin engkau berjalan, agar tidak ada yang dirimu lewati. Agar engkau tak menyesal kemudian hari.