Memendam Rindu

Seseorang menuliskan namaku, “Muhammad Baiquni” di Google. Aku hanya tahu saja, apa yang terjadi pada seseorang itu. Aku cuma tahu, tidak lebih.

Nama-nama yang melumat hatinya mengalir pelan lewat ketikan-ketikan jemarinya. Memaksanya untuk melihat, membuka kerinduan, walau sekedar memandangi nama dan tempat seorang lelaki membongkar kata-kata.

Padahal, dahulu sekali dia pernah berjanji kepada dirinya sendiri. “Aku harus bisa!” – Bisa untuk melupakan nama yang membuat jantung itu berdetak dengan tidak menentu. Teramat lelah rasanya, ketika pacuan jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. Capek! Namun itulah cinta.

Seseorang yang sedang dia cintai untuk dilupakan itu juga sedang memendam kerinduan yang hebat. Namun, dia berbeda. Tak ada keinginan untuk melupakan, semua dia pasrahkan kepada Tuhan sang pembolak-balik hati. Dalam setiap doa, hatinya selalu meminta agar seseorang itu diberi kesabaran sebagaimana Engkau memberikan jiwa lelaki itu sejentik kesabaran.

Lelaki itu sebenarnya sedang dalam pelarian. Berlembar-lembar mushaf dia jadikan pelarian. Berpuluh-puluh sujud di ujung malam dia jadikan pelarian. Beratus-ratus desis nama Tuhan juga dia jadikan pelarian. Lelaki itu sebenarnya sedang berlari, berlari lelah mengusik rasa. Tuhan, gempuran perasaan itu mengapa begitu dahsyat?

Andai seseorang itu tahu, entah bagaimana lelaki harus mengeja setiap efek domino yang terjadi. Lelaki seperti tersihir, dungu seutuh logika. Seperti tak lagi punya kuasa kata.

Apakah ejaan perasaan ini suatu kesalahan, Tuhan?

Lelaki mematung. Diam. Hanya jantungnya yang terus berdetak. Sedetak-demi-sedetak berganti menjadi nama: Bidadari ketiga.

Lelaki memejamkan mata. Memendam kerinduan.