Memelihara Luka

Harusnya aku menangis. Paling tidak ikut bersedih dan saling berbagi air mata. Tetapi nyatanya aku malah tertawa.

Memelihara Luka
sumber: ikoelike.blogspot.com
Ini bukan ceritaku yang aku tertawakan, namun tentang seorang perempuan yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri. Antara kasihan dengan penderitaannya atau malah tertawa karena kebodohannya. Ironi memang, karena sesungguhnya kebodohan adalah sesuatu yang sewajarnya ditangisi, namun jika tetap dipelihara, lebih baik kita ikut tertawa saja.

Aku tidak tahu berapa tahun dia masih menyimpan cinta. Tentang laki-laki yang masih diingatnya padahal dia sudah berkali berganti lelaki dan sang pria pun terhitung sudah 5 (lima) kali berganti wanita. Dan entah mengapa, aku menganggap perempuan yang aku anggap adikku itu sebangsa tolol. Sang lelaki beralasan tidak akan berpacaran 2 (dua) kali dengan wanita yang sama. Nah! Di sini aku melihat ketololannya. Jelas, itu sebangsa alasan yang diucapkan para pria yang sibuk mencari wanita, pria yang sudah puas cukup sekali dan ingin mencoba yang lainnya. Sebangsa, lelaki yang adikku cintai itu adalah seorang playboy. Itulah duga dan anggapanku sekarang.

Dan entah mengapa, adikku masih menyimpan harap sampai sekarang. Pernah aku singgung suatu ketika, aku tanya blak-blakan karena sudah geram aku dengan kehidupannya itu, “apa tak malu kau dengan jilbabmu?” — buruk memang, dan aku merasa sikap perempuan yang seperti itu lebih kepada merendahkan diri dan tidak memiliki harga diri. Maaf cakap, aku merasanya seperti murahan.

Dan dia pun beralasan, “bukannya itu lebih baik, Bang? Aku tetap setiakan hatiku kepadanya walau sejuta lelaki telah berganti.”

Aku diam. Dalam hati dongkol. Ingin aku teriak, itulah tololnya kau! Lelaki itu tak anggap kau namun terus saja kau ingat dia. Bolehlah itu kau bilang rasa, namun jika kau dibodohi dan tetap tidak sadar juga, apalah yang harus aku katakan selain: tololnya dirimu.

Cinta kadang bertindak seperti kanker. Engkau harus memiliki sifat tega untuk melepaskannya sebelum dia membunuhmu dengan perlahan dan teramat menyakitkan.

Dan ketololan demikian tidak cuma ada padanya seorang. Ada jutaan lelaki atau perempuan lain yang memiliki nasip serupa. Mereka dibutakan oleh rasa tanpa mampu melihat dunia. Jutaan orang telah datang untuk menyembuhkan mereka tetapi mereka malah enggan, ingin tetap memelihara luka.

Untuk tipe manusia demikian, maka baiknya kita sama-sama tertawa. Mengapa? Karena air mata menjadi alpa untuk mengingatkan mereka. Air mata sama sekali tidak memiliki arti. Cuma menjadi pembenaran atas sikap mereka tersebut. Saat engkau menangis bersama mereka, sesungguhnya yang sedang terjadi adalah engkau ikut menyuburkan luka yang seharusnya diamputasi segera. Dengan tertawa, itu semacam pahitnya obat. Semoga, tertawa mampu menyadarkan mereka, bahwa betapa tololnya hidup yang mereka jalani.

Adikku itu memang tolol. Teramat tolol. Tolol pangkat seribu.

Tertawa yang biasanya menjadi obat ampuh bagi orang lain, namun tidak dia gubris. Tetap saja hatinya nelangsa. Berganti foto profil BlackBerry Messenger dia dengan fotonya tempoe dulu bersama lelaki pujaannya yang mungkin sekarang sedang begitu mesra dengan perempuan lainnya. Aku merasa, dia sudah teramat gila.

Manusia kadang aneh. Mereka tidak menerima hidup ini. Dua kali percobaan gagal lantas dianggap sebagai kegagalan yang abadi. Dua kali membina hubungan dan masih menyimpan rasa dianggap bahwa rasa itu tak akan hilang. Aku sebenarnya muak saat dia katakan sudah berusaha mencoba untuk lupa. Bullshit! Berusaha untuk lupa jauh berbeda dengan berpura-pura untuk lupa.

Saat sedang menulis ini, aku sedang memikirkan adikku tersebut. Antara prihatin, dongkol, kemudian aku lebih memilih untuk tertawa. Sudah tahu berpenyakit masih saja dipertahankan. Kanker itu harusnya diobati, bukan dirawat. Demikianlah kisah: MEMELIHARA LUKA.