Suatu siang, dalam sebuah percakapan, temanku tak percaya saat kukatakan bahwa aku jarang melakukan segala sesuatu dalam kesendirian. Aku tidak berbelanja sendiri, tidak ngopi sendiri, tidak ke dokter sendiri, apapun itu — aku tidak sendiri.
Dia tidak percaya. Dia selalu merasa bahwa aku adalah sosok seorang introvert — mereka yang nyaman dalam kesendirian, pemalu, dan berpikir sebelum berbicara. Maka ketika aku engan melakukan segala sesuatu tanpa seorang teman, segala sosokku dalam benaknya serasa dijungkar-balikkan.
Kemudian selanjutnya aku bertanya, mengapa dia bisa begitu mudah melakukan segala hal dalam kesendirian? Seperti berjalan sendiri tanpa ada yang menemani, berbelanja sendiri, menonton sendiri, menikmati secangkir kopi sendiri dalam hiruk manusia yang tidak alpa berbicara. Dan seperti yang aku tebak, dia pun tidak mengerti mengapa dia bisa melakukannya. Hanya sebuah alasan bahwa, “ya bisa saja, kenapa tidak.” — hanya itu.
Maka kemarin, aku mulai mencoba berontak. Mencoba menguji apakah aku mampu tegas dalam kesendirian. Akupun mencoba berjalan sendiri mengelilingi separuh kota saat subuh berganti pagi. Duduk di sebuah warung kopi ketika orang-orang bahkan belum lagi beranjak dari pintu rumahnya untuk pergi.
Hasilnya. Aku masih belum bisa sepenuhnya sendiri. Mungkin karena sebuah smartphone di tangan yang sedikit mengobati. Setelah dipikir, tanpa barang tersebut aku tidak bisa sendiri. Maka pemberontakan pertama pun gagal, menurutku.
Sejujurnya aku tidak begitu nyaman dalam hiruk-pikuk keramaian. Tetapi jika ingin lebih jujur, sebenarnya aku merasa terasingkan dalam keramaian. Karenanya, seorang teman membuatku merasa tidak terasingkan. Seolah aku berada dalam taraf domain kebersamaan.
Aku suka iri dengan orang-orang yang mudah melakukan segala sesuatu sendiri. Lebih iri lagi kepada mereka yang mampu tertawa dengan berbagai orang di sekelilingnya. Rasanya menyenangkan ketika mampu melakukan kedua hal tersebut tanpa sebuah beban, tanpa sesuatu keenganan.