Marhaban ya Ramadhan

Mungkin karena usia. Ramadhan yang dulu aku hadapi dengan perayaan tampak tertatih sekarang berjalan. Entah kemana perasaan gembira yang dulu akan selalu hadir, seperti perasaan seseorang menunggu pernyataan cintanya diterima: detik-detik mendebarkan yang dinantikan. Namun sekarang pupus.

Mungkin ini karena jiwaku yang semakin kosong. Boleh jadi karena semakin bertumpuknya dosa di dalam dada. Tentang kaki yang berselimut lumpur, dan lengan yang berkubang kesalahan. Hati yang lalai dan pikiran yang jauh dari memikirkan Tuhan.

Aku merindukan aku yang dulu. Manusia yang melihat manusia dengan seadanya. Tidak mengutuk mereka yang berdosa lebih dari seharusnya. Memaafkan mereka yang terlupa. Tidak berburuk sangka ketika berderma. Tak membutuhkan manusia membalas kembali seluruh cinta.


Namun hampa tidak boleh dijadikan alasan untuk terus alpa. Ini adalah bulan saat Tuhan menurunkan begitu banyak berkahnya. Mungkin hampa yang aku rasakan, akan kembali terisi sekarang. Mungkin seluruh khilaf, bisa dimaafkan bulan ini. Karena ini adalah bulan ketika perut menjadi lapar, setan dibelenggu, dan aliran darah menyempit.

Ini adalah bulan bonus yang Tuhan berikan. Bulan di mana engkau berlari 10 maka Tuhan akan mengalikan 70. Maka, apakah pantas aku tetap menjadi alpa dan penuh kesiaan?

Oh Ramadhan. Marhaban ya Ramadhan. Sungguh engkau dihadirkan Tuhan sebagai medan perjuangan. Menjadi bulan ketika manusia menjadi lebih terang dalam melihat hati-hati yang telah berserakan. Ini adalah bulan untuk berlatih. Menahan diri dari segenap napsu, dari segala keinginan manusiawi. Bahkan yang halal engkau haramkan sebelum surya turun ke peraduan.

Semoga di bulan ini, salah satu doaku engkau kabulkan. Salah satu doa yang terus aku rapalkan ketika hampa dan seluruh alpa hadir dalam hidupku. Doa yang menjadi pertahanan terakhirku: “Jadikahlah aku termasuk mereka yang mencintaiMu dan Engkau mencintaiku.