Lelaki itu melihatku sayu, ditepuknya pundakku. Senyumnya belum lagi kering. Dan aku melihat ke atas, jauh ke langit melewati semua bintang. Tanpa ada kelabu dari awan yang bertumpuk, atau ledakan plasma dari ion yang berlonjatan di antara awan. Aku melihat langit dengan amat jernih, seperti ketika gunung pecah saat melihat wajah Tuhan.
Aku rindu. Lama lelaki itu menghilang, bersembunyi di balik diri-diriku yang lain. Aku rindu ingin bertanya, tentang segala langit dan bintang-bintang. Aku rindu tamparannya, aku rindu celotehnya, aku rindu bentakannya. Aku rindu ketika aku bercermin, tak ada wajahku di sana. Aku rindu ketika aku bukan lagi aku.
“Kemana engkau selama ini pergi?” Tanyaku rindu.
“Aku bersembunyi di antara tasbihmu yang hilang, aku bersembunyi dari bibir-bibir keringmu.”
Dan seperti arus balik dari waktu yang seharusnya maju, dia mundur dan aku pun mundur. Waktu pun mundur. Seperti melihat semua gerak lalu, aku kembali menjadi tak mengerti.
Dari langit tinggi, aku seperti melesat jatuh ke dalam dasar bumi. Seperti besi yang tersedot putaran magnit, aku menjadi utara bagi selatan yang sedang menarik. Tak kuasa, aku tak dapat menolak.
Berputar-putar aku di seputar angkasa hampa. Di antara bintang. Di antara galaksi-galaksi yang terdiri dari debu dan nebula-nebula. Aneh, radiasi kosmis tak membuatku hancur menjadi serpihan dalam bentuk yang tak lagi jamak. Aku tetap utuh menjadi satu aku.
Kini, awan yang tadi hilang aku lihat telah berkumpul. Semua menjadi kelabu.
Lelaki itu semakin jauh. Kupanjangkan tanganku menggapai, namun seperti menumbuk tekanan angin. Tak ada yang kuraih selain kehampaan.
Aku terus jatuh ke bumi. Kulihat belakangku, semua miniatur menjadi semakin besar. Setitik-titik cahaya berubah menjadi gumpalan. Semua warna kini kembali terasa, semua siku kini kembali menyudut. Semua rasa kini kembali ada.
Semua bingung kembali memuncah. Semua kamuflase bias warna kembali menerang. Aku tak tahu bagaimana harus menerangkan.
Garam tubuhku, diantara peluh, menumbuk awan-awan yang telah mengeras. Badanku basah oleh air. Segala air pun tumpah dari langit.
Aku kini berharap hujan. Aku ingin deras memayungi jatuhku ke bumi. Aku tak butuh lagi sayap-sayap. Aku ingin seketika berdemam di bumi, lantas hujan akan langsung membanjiriku, membawa jasadku menemui muaranya. Laut.
Aku rindu laut. Aku rindu palung-palung dalam. Aku rindu ketika matahari dengan spektrum warna tak mampu menjangkau tempatku meringkuk. Aku rindu kehampaan. Sesuatu ketika semua menjadi tiada, sesuatu ketika aku bukanlah sesuatu.
Aku rindu menjadi tiada.
Seketika bayangan lelaki itu muncul. Bayangnya dengan senyum yang belum lagi kering.
Dia adalah yang pertama kulihat ketika tanganku dijamah paksa melewati segala hampa. Aku rindu dia.
Bumi semakin dekat. Punggungku hancur. Jiwaku juga hancur. Aku menjadi berkeping.
Sensasi itu, sensasi ketika mati memelukku. Semuanya menjadi serba hitam pekat, semua gerak melambat. Semua tetes air menjadi seperti bulir. Mampu kulihat segala tetes air hujan berhenti. Satu detik sebelum punggungku hancur.
Semua menjadi mati kecuali rindu.
Entah mengapa, lelaki itu aku rindu. Kembali membayang, dengan senyum yang belum lagi kering.