Ikhlas itu Sungguh Teramat Indah

Hari ini aku chatting dengan bidadari. Dia bertanya mengapa aku menghapus dia di akun facebooknya. Sebelumnya dia sudah sms aku, telepon juga sudah. Dia minta kejelasan dan konfirmasi, jangan-jangan aku termakan seseorang yang sedang mengganggunya. Dia takut jika aku lebih mempercayai orang tersebut daripada dirinya yang sudah lama berkenalan.

Jelas dia salah sangka. Aku memang telah menutup akun facebookku jauh-jauh hari.

Kami pun chatting. Dia bercerita bahwa dia akan menikah tahun ini. Kali ini jujur-sejujurnya. Aku pun bahagia, dan entah mengapa tidak ada perasaan yang mengganjal di hati. Dulu, jika dia berucap demikian, akan sakit sekali hati ini namun sekarang perasaan itu telah pergi. Aku mungkin telah belajar setetes embun dari ikhlas.

Dan kejadian yang menghantam hati datangnya bertubi-tubi. Bidadari ketiga pun bisa dipastikan tidak mencintaiku. Aku pun entah mengapa merasa begitu bebas. Tidak ada rasa sesak yang biasa mengganjal. Aku begitu bahagia. Aku merasa aku akan menjalani apapun takdir yang Tuhanku berikan, apapun itu, demi mencapai ridha-Nya.

Semalam aku tidak tidur. Aku membaca buku Al-Wafa’ karangan Ibnu Jauzi. Buku itu bercerita tentang kepribadian Rasulullah. Semalaman aku menangis membaca buku itu, betapa beratnya perjuangan nabi yang sangat kucinta tersebut. Ada satu kata yang membuatku begitu tersayat: “Bahkan andai Musa masih hidup jika aku turun, maka tentu Musa akan ikut dalam barisanku,” demikianlah redaksi bebasnya.

Jujur. Aku sedang patah hati, namun itu semua tidak membuatku sakit hati atau menjadi pencaci Tuhan. Sakit teramat sakit, namun ada perasaan lega. Aku menjadi berduga-duga, kiranya siapa yang akan menentramkan hatiku kelak.

Tuhan. Ajarkan aku lagi tentang keikhlasan.