danbo

Gelisahmu

Aku tidak tahu apakah ini kutukan. Seseorang pernah mengatakan padaku tentang ketidaksetiaannya. Aku menyanggah, mencoba buyar kan segala apa yang dikatakan orang tersebut walau kemudian akhirnya aku menyerah dengan segala apa yang hadir di depan mata. Dari dulu, aku selalu duduk dalam posisi mengawasi, bersabar dalam keadaan untuk terus melihat apakah dia akan kembali. Tapi yang aku dapatkan, dia terus mengulangi.

Saat dia ingin pergi, selalu aku katakan: nanti engkau kehilangan tempat untuk kembali. Mungkin karena alasan itu dia menjadi resah. Ingin bebas namun ingin juga merasa aman seperti dalam sangkar. Maka dia pun urung untuk melebarkan sayapnya untuk terbang tinggi, urung meninggalkan aku yang sendiri di dalam gua dalam tubuh penuh luka. Maka aku bersyukur tentang hal itu.

Walau aku terus melihat gelisah. Tentang jiwa yang ingin berkisah, tidak cuma terapung dalam danau dangkal lagi keruh. Jiwa yang ingin segera bebas, menembus langit tinggi dan cakrawala. Jiwa yang geram dengan semua yang hadir dalam mayapada.

Mungkin sebenarnya aku hanya ingin menghibur diri. Tentang takdir yang aku rasa berhak untuk aku miliki. Tentang jiwa yang aku kurung kebebasannya untuk terbang tinggi, agar tidak lagi aku sendiri di dalam gua lagi gelap dan sempit ini. Ya! Aku hanya menghibur diri.

Ketika aku berbicara cinta adalah kebebasan, keindahan melihat orang yang engkau cintai berbahagia. Lantas mengapa aku tak seperti semua ucapku? Aku tahan segala aliran ruang dan waktu, namun aku tidak akan mampu. Karena, takdir yang seperti sungai, akan menembus segala waduk yang membendungnya. Harusnya, aku membebaskan engkau wahai jiwa, menemukan keindahan takdirmu tanpa harus aku kekang di mayapada ini. Di dalam gua yang selalu membuatmu gelisah dan resah.

Haruskah aku melepaskan segala genggaman. Agar rantai yang mengikat kita terlepas, dan sayapmu melebar menerbangkanmu lebih tinggi, hingga pada satu titik ada tangan lain yang menggapai.

Aku lama terdiam. Melihat matamu yang kosong ketika menatapku. Mata yang dulu berbinar ada cinta di sana, namun sekarang redup. Aku tidak lagi menemukan apa-apa. Bahkan, tidak juga sisa.

Harusnya, bagiku tak apa jika tubuhku bertambah lagi derita. Bukankah inginku melihatmu tersenyum. Melihat mata yang sama yang dulu pernah ada cinta di sana. Yang mungkin, aku akan melihatnya ketika engkau telah mencapai puncak langit dan di sisimu ada tangan yang berbeda. Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku ingin menjadi matahari. Maka ketika engkau lebih memilih sesuatu yang membuatmu berarti, segala hal yang membuatmu berdetak semakin menjadi, mengapa aku tidak harus rela?

Telah dari dulu aku mencintaimu, dan semoga selamanya akan tetap begitu.