Gelisah

Pulang dari kampus tadi, sekitar jam 14.00 WIB. Entah mengapa hatiku deg-degan. Gelisah.

Aku sendiri tidak paham, dari mana datangnya gelisah mengapa dia harus sampai hadir. Aku cuma tahu, debar jantungku tidak enak. Terasa sekali tanganku gemetar dan mendingin. Segala hal menjadi tidak enak. Duduk tidak nyaman, tidur pun tidak menyenangkan. Kepala ini pusing sekali. Sangat.

Entah apa yang terasa. Apakah ini yang disebut firasat buruk?

Rasaku tidak. Tidak ada firasat buruk apa-apa. Aku menduga bahwa ini efek salah makan, atau mungkin salah minum. Kafein sedang mencoba merusak tubuhku. Seingatku tadi sekitar pukul 12.00 WIB, di kantin aku makan sepiring Indomie basah dicampur telur dan segelas besar Cappucino dingin.

Aku memang mulai alergi kopi. Dulu tidak, sampai akhirnya aku mendengarkan cerita tentang Aik yang bagaimana dia begitu alergi terhadap kopi. Seteguk kopi bisa membuat dia harus kehilangan napas dan begitu gelisah.

Aku pun sekarang demikian. Gelisah. Gundah. Berdebar-debar jika sudah bergumul dengan kopi, walau barang secangkir.

Baiquni yang aneh. Kadang aku merasa aneh terhadap diriku sendiri. Ketika aku berdekatan dengan orang-orang, aku mulai seperti menghisap segala keburukan-keburukan mereka. Misalnya ada temanku yang alergi dengan kopi, dalam beberapa waktu aku pun akan demikian. Menjadi alergi terhadap kopi. Atau ketika ada beberapa teman yang memiliki nasip buruk tentang percintaan dan bercerita kepadaku tentang nasip buruk mereka, maka dalam beberapa waktu, kisah-kisahku akan menjadi mirip dengan kisahnya.

Kadang aku merasa, hidupku ini seperti pola berulang. Hanya pemerannya yang diganti. Dulu aku yang bertindak sebagai subyek, sekarang aku yang menjadi obyek. Karenanya, jika menilai sebuah peristiwa dari kondisi yang aku alami tempo dulu, maka aku akan berusaha agar bermain indah dan cantik dalam episode kali ini.

Misal. Jika dulu aku yang terluka karena aku sebagai subyek. Dalam episode kali ini sebisa mungkin seseorang tidak terluka oleh tindakanku karena dia yang berperan sebagai subyek dan aku obyeknya.

Ah, cerita mulai mengambang. Namun, gelisah ini belum lagi berhenti. Hatiku masih berdebar tak menentu. Kepala belakang persis di belakang telingaku sakit sekali. Leherku pegal-pegal. Segala hal yang lalu-lalang di depanku menjadi tidak rasional. Aku takut, dengan kondisiku yang sekarang, keputusan yang kuambil dalam berbicara, berdialog, atau memutuskan sesuatu adalah sesuatu yang terjadi dengan dasar perasaan yang telah terkontaminasi oleh rasa gelisah, bukan lagi nalar yang bersih dan mampu berpikir dengan rasio yang alamiah.

Saat cerita ini aku posting. Gelisah itu masih tetap ada. Belum berhenti. Aku cuma berharap, semoga segera jeda.