Emosi Manusia

Manusia seringnya melupakan logika ketika emosi sedang membara di dalam dada. Dan parahnya, mereka menyesali apa yang pernah didorongkan oleh emosi yang meletup karena faktor logika yang meredup.

Sering sekali kita melihat mereka yang terlalu terbawa emosi lebih sering menutup muka pada akhirnya karena perasaan malu, bersalah, atau gagal. Kita melihat di televisi, seorang pembunuh harus meratapi nasipnya karena emosi dorongan sesaatnya mampu membuatnya membunuh seseorang. Seorang pemerkosa harus menyesali seluruh perbuatannya karena emosi dorongan seksual sesaat yang meletup di dalam dadanya.

Emosi seringnya beriringan dengan napsu. Karenanya, ketika marah kita diminta untuk melakukan wudhu. Mengapa? Selain karena air itu dingin dan menenangkan, ternyata prosesi mengambil wudhu itu didasari oleh sebuah kesadaran, diharapkan implikasi dari kesadaran itu adalah kita kembali menempatkan logika dalam arah berpikir kita.

Sebenarnya, emosi itu adalah perasaan. Manusia wajib memiliki emosi, karena jika tidak, mereka tidak berbeda dengan robot yang tidak memiliki emosi. Hanya sayangnya kebanyakan manusia (termasuk aku) belum mampu mengkontrol emosi mereka secara penuh. Inilah faktor dasar mengapa emosi harus dikekang agar emosi itu tidak malah berbalik menyengsarakan.

Aku adalah anak yang terlahir dari emosi. Emosi cinta ibu dan bapakku terhadap cinta mereka melahirkan aku. Tanpa emosi, aku tidak ada. Tanpa emosi, aku tidak di dunia.

Emosi itu seperti pisau. Kadang menguntungkan, kadang merugikan. Hampir selalu emosi menyengkan hati. Seorang pembunuh setelah membunuh mampu membuang rasa kesalnya kepada orang yang dia bunuh. Seorang pemerkosa mampu membuang hasrat seksualnya setelah habis memperkosa. Namun, setelah semua itu terjadi, emosi kembali bekerja, dengan perasaan berkebalikan, tentang rasa takut, tidak tentram, dan gaduh.

Sayangnya, penyesalan selalu datang terlambat.

Baiknya Tuhan, dia itu Maha Pemaaf. Dia yang menciptakan manusia mengerti mengapa manusia begitu emosian. Oleh sebab itu, dia menciptakan apa yang disebut dengan pertobatan agar manusia meminta maaf kepada-Nya, dan dia menurunkan seperangkat hukum agar manusia tidak keluar jadi dari emosi yang melandasi mereka.

Parahnya. Manusia tidak seperti Tuhan. Manusia tidak memiliki maaf sebenar Tuhan. Karena yang Maha Pemaaf cuma Tuhan. Jika manusia mengulang berbagai kesalahan dan Tuhan selalu memaafkan, maka manusia tidak demikian. Kesalahan sama yang berulang dianggap sebagai pemberontakan atau kebebalan atau pengingkaran. Maka Maha Pemaaf cuma milik Tuhan, dan manusia bukan Tuhan.