Jujur, aku tidak tahu siapa penemu emailgram perak. Namun, jika dia seorang Islam kemungkinan besar dia akan masuk surga karena jasanya tersebut. Mengapa? Karena hampir setiap kita diberi keuntungan atas temuannya tersebut. Hampir setiap hari kita tidak lepas dari bercermin, dan emailgram perak berperan penting dalam proses tersebut. Emailgram perak adalah pelapis pada kaca sehingga kita mampu bercermin dengan sempurna.
Kadang aku sering mendengar orang-orang berkata berkaca diri. Artinya, setiap orang harus mengevaluasi apa yang terjadi pada dirinya agar menjadi lebih baik. Sayangnya, sering kali kita mampu mengevaluasi diri namun tidak juga menjadi lebih baik. Aku, contohnya. Aku kadang tahu di mana letak salahku namun agar berlaku kebaikan dari apa-apa yang aku tahu itu salah, aku belum lagi mampu.
Bercermin tidak harus melalui diri sendiri. Capek! Ada cara yang lebih mudah untuk menilai diri kita seobyektif mungkin. Caranya adalah dengan menjadikan orang-orang lain sebagai cermin kita. Cermin yang paling bagus adalah musuh kita, mengapa? Karena dengan egonya dia menilai kita secara “jujur”.
Sayangnya, kebanyakan orang baik bercermin dengan kapasitas diri sendiri maupun bercermin dari pendapat kontrapersonal kita sering sekali gagal. Mengapa? Ego adalah jawaban dari semuanya. Memang, terkadang apa yang menjadi pendapat orang tidak mutlak 100% benar, namun ada hal yang harus diperhatikan bahwa begitulah orang-orang menilai kita.
Ada sebuah kasus menarik. Beberapa minggu yang lalu aku menguping pembicaraan seseorang. Seorang lelaki sedang curhat dengan seorang kawan barunya dan bercerita tentang tempat kerjanya dulu ketika dia resign. Dia bercerita bagaimana orang-orang di tempat kerjanya dulu sangat begitu tidak menyenangkan, dan banyak diantara mereka yang tidak menyukai dia.
Dia tidak sadar bahwa kawan barunya itu adalah seseorang yang sedang melakukan penelitian di tempat kerjanya dulu. Sadar hal tersebut, dia memberikan sebuah ultimatum: “please dont tell what I said to you to another person on there!”
Sebenarnya, seorang kawanku juga bekerja di sana. Aku pun bertanya, ada apa dengan orang yang aku kupingi tersebut? Ternyata jawab temanku, orang yang aku kupingi tersebut adalah seorang yang sangat egoistis. Tidak mampu bekerja dalam tim, dan selalu menunjukkan kebolehannya namun pekerjaan utamanya keteter. Pekerjaan aslinya cuma diminta melakukan A, namun yang dia lakukan adalah Z dan tidak menyelesaikan pekerjaan A tersebut, malah membanggakan pekerjaan-pekerjaan Z tersebut.
Orang-orang dengan emailgram perak minimalis cenderung seperti itu: hampir selalu menyalahkan orang lain atas ketidakmampuan dirinya. Aku mungkin termasuk dalam karakter seperti itu. Aku selalu menyalahkan betapa bodohnya aku, mengapa aku tidak pintar, mengapa aku sering sekali gagal, dan mengapa orang-orang yang aku cintai meninggalkan aku? Aku cenderung menjawab sesuatu yang membuat diriku tenang, namun tidak menjawab dengan sesuatu yang mampu menyelesaikan permasalahan.
Ketika aku belum juga selesai kuliah, aku mungkin akan menjawab bahwa aku ini bodoh, tidak pintar, dan segudang ketololan pada diriku. Itu adalah alasan yang membuat aku tenang, padahal sejatinya jawaban yang seharusnya bersarang adalah “AKU YANG BEGITU MALAS”. Kadang kala, alasan-alasan birokrasi juga dicetuskan mengapa kita sering sekali telat lulus kuliah.
Sering kali pula, kita mencari kambing hitam atas kegagalan-kegagalan yang kita alami. Kita mengkait-kaitkan segala permasalahan dengan kambing-kambing hitam yang mungkin tidak begitu berefek pada kegagalan kita, namun di mata kita mereka adalah sosok prioritas yang harus kita salahkan.
Menyalahkan orang, mengkambing hitamkan, dan mencari alasan sama sekali tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Masalah yang sama akan kembali terulang jika kita terus berusaha mengelak dari keburukan yang kita lakukan karena diri kita sendiri. Tak akan ada proses pendewasaan jika hal-hal tersebut terus berulang.
Sadarilah. Mulailah bercermin sekarang juga, baik dengan diri sendiri maupun bertanya kepada orang-orang apa pendapat mereka tentang diri kita. Tanyakan pada musuh-musuh kita, karena mereka menilai sesuatu dengan “sejujurnya”.