Peluhku belum lagi kering, tanah masih membara, dipandu terik mentari menyengat. Tanah ini tidak berpasir, namun retak seperti merekah sepenggal. Warnanya kuning, keruh.
Aku berjalan, langkahku gontai. Seperti telah habis tenaga, napasku cuma tinggal satu-satu. Bahkan untuk menghirup dan membuang napas, aku seperti kehilangan tenaga. Terik mentari membuatku sangat lelah. Namun rindu lebih membuatku kebingungan.
El, aku rindu.
Namanya kutemukan dari koyakan-koyakan kayu lapuk yang termakan usia. Cuma ada nama El di sana, serta cerita-cerita tentang dia. El, sang semesta.
Kayu itu kutemukan tak sengaja, ketika aku berjalan di antara debu dan angin panas. Ketika tongkat pun tak mampu lagi menopangku. Aku berjalan terseret, memandu lututku untuk tetap melangkah. Aku tertatih, tak jarang harus merangkak. Entah berapa kali aku telah pingsan, namun terbangun oleh teriknya mentari yang tak mampu kupadamkan. Ketika aku berfatamorgana, seolah melihat oase di tandusnya tanah yang retak belah, aku menemukan potongan kayu lapuk itu.
El, Sang semesta.
Nama itu kusembunyikan di antara 99 nama yang kuberitakan. Aku hanya memberi nama itu kepada mereka yang kehausan, mereka yang mencari Aku. Namaku ke seratus.
Sebutlah nama itu jika engkau membutuhkan aku. Aku akan memberi air di saat dahagamu. Aku akan menurunkan hujan ketika kemaraumu. Aku akan memelukku waktu dinginmu. Sebut nama tersembunyiku itu.
Aku menemukannya tiba-tiba. Aku bukan sang pencari, juga bukan mereka yang sedang haus. Aku hanya seseorang yang entah mengapa terjebak dalam dunia yang penuh derita. Aku dipaksa berjalan, aku dipaksa bernapas, aku dipaksa menelusuri jejak tandus ini.
Aku menemukan sisa kayu lapuk itu di bekas tengkorak tangan seseorang yang tidak kutahu siapa. Dia tergeletak. Aku tak mampu lihat wajahnya, entah tersenyum atau menyemburat luka. Aku tak peduli, toh wajah itu tidak lagi berdaging. Warna tengkoraknya pun tidak lagi putih.
Namun ada satu yang membuatku takjub. Di kening tengkorak itu terpahat satu tulisan yang entah apa di sana, belum lagi kutahu artinya dahulu itu. Pahatan emas, kentara dengan lusuh tengkorak itu, namun menyatu. Aku tak tahu mengapa.
Aku masih terus menyeret langkahku. Lidahku sudah terjulur keluar, seperti anjing-anjing yang kehausan. Aku sudah tak tahan. Berkali-kali aku berdoa, namun Tuhanku telah tuli. Tak diberinya aku air, juga tak ada awan menggumpal yang sejenak mereda terik panas matahari tepat sejengkal di kepalaku ini. Tak ada mukjizat. Aku bukan nabi.
El, Aku rindu.
Terbersit inginku mengucapkan nama itu dengan lidahku namun aku masih sangsi. Aku telah berdoa dengan nama yang diperintahkan oleh pemuka agama-agama kami, namun Tuhan yang kupanggil-panggil itu tidak juga mendengar. Tidak ada jawaban dari langit. Semua tetap sama, mentari masih terik dan tanahku tandus. Kulitku mulai melepuh.
Mataku untuk kesekian kali pitam. Rasanya panas menggumpal di ujung ubun-ubun. Sakit sekali. Mataku cuma mampu terbuka setengah, sedikit menahan perih panas yang mengasari seluruh jasad ini. Aku mencoba bertahan, entah sampai kapan sanggupku akan terus bertahan.
Lembaran kayu lapuk itu masih keras tergenggam di tanganku. Seluruh tenagaku telah terkuras habis, menguap bersama air yang mulai mengering dari tubuhku, tetapi tangan kananku ini, tangan yang menggenggam kayu lapuk itu masih memiliki tenaga yang entah darimana aku tak tahu.
Aku takut menjadi murtad. Tuhanku cuma memiliki 99 nama yang diajarkan oleh pemuka agama-agamaku. Nama yang tertera di lembaran lapuk itu tak ada. Tak pernah ada kata-kata “El” dalam kamus agamaku. Mungkin “El” bukanlah nama, cuma sebutan atau istillah. Lain kata untuk menyebutkan satu nama, sama seperti “god” dalam bahasa Inggris dan “tuhan” dalam bahasaku. Akupun tak tahu, mungkin.
Aku sudah dipuncak lemahku. Tak tahan lagi. Siksa ini teramat sangat mendera. Jika panas ini tak hilang, jika dahaga ini tak diberi air, lebih baik cabut saja nyawaku. Derita adalah siksa yang lebih berat daripada kematian, karenanya untuk para pendosa setelah mati pun Tuhan akan hidupkan mereka untuk merasakan derita. Jika mereka mati tanpa hidup lagi, alangkah lebih baik itu.
“El…,” kata itu terucap tanpa aku sadari.
“El, aku rindu.” Lagi nama itu terpanggil dari bibirku.
“El, sirami dahagaku. Beri aku air dan padamkan mentari untuk sesaat. Diamkan terik. Aku meminta.”
Badanku tak kuat lagi. Aku tersungkur tengkurap di tanah ini. Aku berhalusinasi, aku seperti merasakan tanah ini bergetar kuat, hebat, dan seperti membelah-belah. Gempa. Aku tak kuat lari, lebih baik mati.
Getaran itu semakin kuat. Langit yang sedari tadi terik mulai menghitam. Dingin menjalar kemana-mana. Dingin menyelimuti semesta.
Lantas, semua hitam mulai merambat. Tanahku tadi tersungkur pun kini hitam. Aku tak mampu lihat apa-apa sekarang. Terbuka dan tertutup mataku sekarang sama saja. Cahaya telah padam.
“El,”
Langit sekarang berguncang. Kudengar jelas pekikan-pekikan dari langit. Meraung keras, histeris.
Aku yang tadi ingin mati sekarang ketakutan. Lututku gemetaran. Tulang-tulang ini serasa ingin lari dari daging-kulitku. Aku benar-benar tak paham.
Mungkin Tuhanku telah murka. Aku telah menyebut dan meminta dari nama lain selain nama-Nya. Aku telah murtad, El bukan nama keseratus yang kutunggu-tunggu. Dia bukan nama Tuhanku. Atau mungkin aku benar, ini adalah jawaban dari permintaanku. Permintaan menghentikan dahagaku, dahaga abadi yang akan terus terjadi untuk seribu kehidupan berikutnya.
Aku semakin gamang. Semesta terus merambat hitam.