Derita Setengah Hujan

Dalam keadaan apa menurutmu sesuatu itu paling menderita? Aku kata, dalam keadaan setengah. Tidak memuncak, tidak juga membumi. Pertengahan diantara keduanya. Itulah hal yang paling sangat membuatmu derita.

Jikalah kita ambil misal tentang cinta. Yang paling berbahagia itu adalah ketika kedua telapak bertepuk tangan. Anggaplah dia itu satu. Dan setengah adalah ketika telapak cintamu cuma bertepuk sebelah. Sakit sekali, teramat sakit.

Derita setengah hujan. Ketika engkau mengharapkan hujan turun, Tuhan tidak memberimu air, juga tidak memberimu kemarau. Cuma sejenak rintik yang tak mampu melegakan dahaga. Tiada pula mampu untuk mengisi danau-danau yang telah merekah retak tanahnya.

Namun, bukankah setengah juga berarti bahagia? Antara miskin dan kaya, Tuhan menciptamu menjadi sederhana. Tak perlu kau usik akalmu dengan segala tetek bengek benda, dan tiada pula perutmu kerontang akibat lambung yang melumat meminta makan. Bukankah itu bahagia?

Apik. Aku tak berani berdebat lagi. Persoalan-persoalan tiada lagi harus dijawab dengan logika, sudah menjadi dialektika. Kontradiksi antara sesama jawaban, waktulah yang menjadi penjawab sebenar: kau sembab atau bahagia. Sama seperti pertanyaan air mata; itu haru atau pilu.

Tapi bagiku sekarang, derita yang tiada berkesudahan adalah derita setengah hujan. Saat cuma rintik yang tersedia di seantero jagat, tak pernah terkumpul menjadi air, langsung menguap kembali di balik antara awan. Rintik yang tiada pula membasahi bumi, cuma sampai setengah antara tanah dan langit di mana awan singgah. Setengah Hujan.

Jikalah dia sudah sampai puncak, niscaya akan turun. Jikalah dia diujung bumi, pastilah akan kembali naik sedia kala. Bagaimana jika ada di tengah? Mungkin saja akan menjadi sedatar bumi yang meluas di ujung pijak.

Mengertikah engkau? Apa yang telah kucerita. Tentang satu fase, yang bukan dipuncak, bukan pula di bawah. Fase yang cuma ada sepenggal, di pertengahan. Derita Setengah Hujan, demikian aku menyebutnya.