Delik Pembelaan

Berikut ini merupakan sebuah Delik Pembelaan tentang karyaku yang berjudul Melata Seperti Sundal yang dibedah pada tanggal 25 Oktober 2009 di FLP Aceh. Pembedahnya adalah kak Ega dan Liza.

Sebenarnya pembedahan karyaku tersebut di luar jadwal seharusnya. Jadwal bedah karya episode 25 Oktober 2009 adalah karya Riza Rahmi dengan judul Jangan Khianati Abu dan karya Lisma Linda alias Ling dengan judul Bocah Itu ???

Melihat betapa fenomenalnya dan beragam kritikan, hujatan, serta ketidak tahuan akan latar belakang mengapa Melata Seperti sundal ada, maka pledoi ini saya siapkan. SELAMAT MEMBACA !!!

Delik Pembelaan

Latar Belakang

Menggugat!

Itu adalah alasan mengapa saya membuat cerpen dengan judul “Melata Seperti Sundal”, sebuah kisah berdasarkan kisah nyata seorang teman. Sengaja cerpen tersebut menggunakan bahasa-bahasa yang verbal, agar pembaca mengurangi rasa bertanya-tanya saat membaca cerpen tersebut, namun juga digunakan metafor dalam beberapa tokoh untuk menunjukkan clause umum.

Cerpen ini diharapkan mampu menggugah pembaca apa yang sebenarnya sedang terjadi dewasa ini. Bagaimana seorang pria berpikir untuk memangsa korbannya. Juga diharapkan perempuan-perempuan yang membaca ini mau mengerti dan memahami bahwa tindakan-tindakan yang kelewatan dalam percintaan sebelum pernikahan akan berakibat sesuatu yang fatal.

Diceritakan juga tentang wanita-wanita pelangi, sosok yang digambarkan merasa suci dan cuma bisa mempergunjingkan apa yang sedang terjadi dewasa ini tanpa mau mengaca diri. Wanita-wanita pelangi adalah gambaran umum tentang wanita yang merasa suci hanya cuma karena lebih menutup diri pada jasadnya sedangkan hati mereka masih dibiarkan kotor. Dan wanita pelangi diceritakan akan menjadi sundal, cuma belum waktunya saja karena mereka beriman di badan, bukan di hati.

Namun cerpen ini diakhiri dengan sebuah petikan, “dan kau tahu? Beberapa sundal ketemukan telah menjadi bidadari” untuk memberikan sebuah angin segar dan babak baru, bahwa sebuah pertobatan bukanlah hal yang muskil.

Behind The Scene

Seorang teman pernah curhat. Beberapa orang juga pernah curhat dengan hal yang sama. Sesuatu yang membuat saya tergugah. Sesuatu di dalam diri saya pun mulai berontak, mengapa kejadian-kejadian tersebut terus saja terjadi seperti efek domino. Terus bergulir tanpa henti.

Beberapa dari mereka yang menyerah, namun kebanyakan adalah yang tidak tahu bagaimana harus bertindak seharusnya. Kehilangan sebuah keperawanan merupakan suatu aib bagi masyarakat timur.

Harus bagaimana? Apakah sebuah pertobatan saja cukup?

Dan masyarakat sepertinya tidak mendukung untuk bertobat saja cukup. Banyak dari mereka yang terus bergunjing, sehingga beberapa dari mereka yang bertobat menjadi menyerah. Toh, bertobatpun tetap sama, tak pernah ada ruang untuk menunjukkan muka. Masyarakat telah menghakimi, hilangnya selaput dara berarti kehilangan muka.

Sebelum semua menjadi terlambat, saya ingin mengingatkan mereka.

Sengaja saya menggunakan tokoh “aku”, sebagai pemeran utama tunggal. Dalam cerita ini sengaja saya menampilkan diri sebagai seorang “iblis” dalam jiwa lelaki, bahkan dengan memberikan kesan hiperbola seperti ungkapan “liurku menetes, dari tetes menjadi sederas kali yang terdesak batu. Muncrat-muncrat. Aku menelan ludah.” untuk memperlihatkan betapa napsunya tokoh “aku” tersebut. Atau ketika menceritakan kemunafikan lelaki dengan ungkapan “Aku dekati wanita itu. Aku kasih tangan. Liurku aku simpan.

Bisa kudengar bisik-bisik wanita pelangi. Mereka bilang wanita bekasku itu sundal, mereka meludah, mencibir, minta ampun biar keluarga mereka tak ada yang seperti itu.” Petikan di atas merupakan suatu ungkapan tentang perkataan-perkataan wanita pelangi, wanita-wanita yang saya gambarkan sebagai orang yang sok merasa suci tanpa mau mengaca diri. Mereka cuma mampu bergosip tentang sekeliling mereka, tetapi hal yang sama juga terjadi terhadap mereka.

Di kehidupan real, hal yang saya gambarkan pada cerpen “Melata Seperti Sundal” adalah hal yang jamak, hampir menjadi keumuman terutama di kota-kota besar. Banyak perempuan yang telah dimakan menjadi seperti tanpa jalan keluar, seperti menemui kebuntuan. Beberapa dari mereka ada yang bahkan terlampau kecewa dan semakin menjerumuskan diri. Oleh karenanya maka diakhir babak, saya mencoba sedikit memberikan jalan keluar bagi mereka yang menjadi buntu. Saya katakan dalam tokoh “aku” yang liar itu, lelaki yang ternyata juga memiliki hati dalam petualangannya. Tokoh “aku” berucap dalam monolognya: “Dan kau tahu? Beberapa sundal ketemukan telah menjadi bidadari.