Saya melihat video ini di Youtube dan merasa sangat sedih. Mengapa hewan diperlakukan dengan sedemikian rupa? Tanpa rasa belas kasihan, tanpa rasa terima kasih.
Dalam Islam, hal demikian sangat terlarang. Cuma boleh memakan hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah dan dengan sebaik-baik penyembelihan. Itulah mengapa teramat dianjurkan untuk menajamkan pisau setajam-tajamnya sebelum menyembelih hewan. Jangan sampai ada penderitaan saat mereka mengakhiri kehidupan.
Semoga video yang saya lihat, segera berakhir dan tidak ada lagi penyiksaan terhadap hewan.
Masih ingatkah engkau, saat kita menghitung bilangan tahun. Dan sekarang, hanya menghitung bulan. Lantas kemudian hari, dan di ujung ada haru yang akan tumpah untuk setiap detik penantian.
Tapi, aku tak tahu apa yang menjadikan diam sebagai dinding. Apakah mungkin relief-relief yang kita ukirkan pada tembok-tembok ratapan membuat kita jemu. Atau, karena sibuknya kita mengalihkan segala sesuatu yang berujung rindu. Mencoba menekan sampai ke dalam sumsum tulang. Sampai-sampai, bahkan angin pun tak akan tahu.
Hatta, berminggu-minggu penantian aku rasakan bagai bilangan abad. Yang tidak mampu kuhitung kapan akan menciut menjadi tahun. Dan saat engkau mengabarkan kedatangan, maka sepenuh itu aku menjadi cemas. Apakah rupaku yang dulu kau lihat, masih tetap sama engkau cintai. Karena aku takut, elok rupa pria akan memalingkanmu dari dunia.
Lihatlah olehmu, dengan mata yang ada di kepalamu, tentang ringkihnya tubuhku semakin menjadi. Tentang uban-uban yang semakin lebat bersemai di kepalaku. Tentang mata yang semakin letih dan menjadi sendu. Dan urat-urat yang hadir menonjol di antara lenganku.
Hai blog! Lama rasanya kita tidak saling bertegur sapa. Tidak juga aku sering datang ke sini untuk melihatmu seperti dahulu. Tidak ada lagi rasa bahagia saat aku menuliskan segalanya di sini. Aku, seperti merasa bukan lagi aku.
Kau pun diam. Tak memanggilku seperti dahulu. Sangat diam. Kau berubah! Menjadi makhluk mati yang memang mati. Tidak lagi melakukan tarian aneh yang berhasil memanggilku keluar, untuk segera meneteskan air mata saat menulis tiap kalimat yang bertitah di tubuhmu ini.
Kau seperti tidak lagi peduli denganku. Merasa aku telah dewasa, tidak lagi penting untuk berkeluh-kesah. Atau sekedar menangis saat cinta pupus dalam perjalanan takdir. Kau, sekarang abai denganku. Menjadi acuh. Sama seperti orang-orang yang aku benci.
Seseorang yang aku cintai di dunia ini terkadang bertanya, mengapa aku sudah jarang menuliskan lagi sebuah lagu kehidupan seperti yang dulu-dulu di dalam blogku ini. Dengan berkelakar, aku selalu menjawab: tak ada lagi yang perlu aku tuliskan. Segalanya telah sempurna sejak engkau hadir dalam hidupku.
Aku memang jarang melirik lagi blog ini. Cuma sesekali aku melihatnya. Bayangkan, aku pribadi saja telah malas melihat blog ini, apalagi mereka yang lain? Terkadang aku merasa capek. Terlalu lelah dengan segalanya.
Sudah beberapa hari ini aku merasa begitu datar. Bahkan ketika aku tidak bisa menjawab semua soal UAS (Ujian Akhir Semester) dengan sempurna, aku tidak merasakan apapun, tidak juga kesedihan. Aku merasa datar saja. Teramat datar. Seperti sebuah garis lurus sempurna. Seperti melihat sebuah osiloskop tanpa ritme dan gelombang. Yang terpampang cuma garis datar tanpa akhir.
Kepada seseorang aku katakan sebuah kejujuran: aku merasa hampa sekali. Kekosongan yang tiada akhir. Dan ironi, bukankah dulu ini yang aku cari. Sebuah perasaan kosong tanpa mengenal cinta, suka, bahagia, rasa sedih, dan seluruh nestapa juga nelangsa. Bukankah ini yang selama ini aku cari?
Dan dia — temanku — menjawab: mungkin Tuhan sedang akan mengisinya dengan seluruh kebaikan.
Saya sedang duduk di kursi, di depan meja, berhadapan dengan laptop yang sedang menyala. Di sisi kanan saya ada teh yang tadi mengepul dengan asap putih tebal tetapi kini mulai memudar. Saya membuat teh lebih awal. Membiarkannya tetap begitu, dan akan mulai menyesap perlahan saat azan magrib berkumandang. Laptop saya masih menyala terang, di dalamnya layar admin WordPress terbuka, bersisi dengan tab facebook yang juga selalu ada. Saya cuma terpekur.
Pikiran saya jauh melayang ke antarpulau. Seseorang yang saya cintai sedang bekerja di pulau yang berbeda. Mungkin dia juga merindukan saya (harapan saya), atau bahkan mungkin saja acuh tak peduli. Siapa sih seorang saya? Tetapi saya benar-benar teramat rindu.
Kemarin mama juga mengutarakan hal yang sama. Sesuatu tentang rindu, begitu manusia bumi menyebutnya. Hal yang mengganjal di pikiran seseorang saat berharap kehadiran orang lain di sisinya namun tidak tercapai, sehingga yang mampu dilakukan adalah cuma memikirkan dan mengirimkan segala doa. Saya pun demikian. Sedang merindukan seseorang.