Berburu "Memoar"

Memoar Hasan Al BannaMinggu lalu, saya ikut pengajian mingguan. Biasanya, setiap pengajian, kami dibagikan rapor mingguan tentang peningkatan ibadah harian. Rapor saya sangat buruk. Amalan harian saya jauh sekali dari target normal yang seharusnya. Tilawah saya jarang, shalat jamaah pun kurang.

Saya paham. Guru ngaji saya mengkel melihat hal yang demikian. Kemudian, karena ternyata minggu itu teman-teman saya juga melakukan hal yang serupa dengan saya, guru ngaji saya bertanya, “sudah berapa lama ikut pengajian?”

Tidak ada yang berani menjawab. Semua pandangan tertunduk ke bawah. Mungkin cuma saya seorang yang tidak paham malu di kelompok pengajian saya, malah saya memesan burger untuk mengganjal perut saya yang sangat-sangat lapar ketika itu. Kami saat itu memang mengadakan pengajian di sebuah kafe. Malah, saat kami mengaji, suasana kafe lumayan riuh. Sepertinya sedang ada konser mingguan di sana.

Saya merasa beruntung. Guru ngaji saya itu orang yang open minded. Terkadang, di kelompok pengajian yang lain, hal yang sama mungkin jarang terjadi. Saya cenderung polos, tidak paham situasi. Jadinya, kadang saya bertanya hal-hal yang mungkin menurut orang lain tidak perlu ditanyakan, namun tetap saya tanyakan. Setahu saya, pada beberapa kelompok yang lain, orang-orang seperti saya mungkin sudah dihindari. Begitu yang saya dengar dari selentingan berita yang beredar.

Oh ya, kembali ke persoalan semula. Karena amalan harian kami sangat kacau balau, mengingat telah lamanya kami ikut mengaji namun seperti tidak berbekas, bahkan belum 1 juz pun ayat-ayat suci Quran yang kami hapalkan, guru mengaji kami meminta kami melakukan sesuatu: beliau meminta kami mencari buku dengan judul “Memoar Hasan Al Banna“.

Baca Selengkapnya

Jalinan Kehidupan

Baru saja aku berpikir tentang hidup yang seperti untaian benang. Namun, saat berikutnya aku malah berpikir, alih-alih seperti untaian benang, hidup lebih seperti jaring laba-laba. Satu getaran terbentuk, seluruh jaring ikut merasakan. Begitulah cara saat laba-laba mengetahui ada mangsa yang hinggap. Demikian pun kita, hanya saja, terkadang manusia alpa dengan banyaknya jaring yang saling mengikat, mengisi, dan berbagi. Terkecuali mereka yang peka.

Dulu, aku pernah bingung. Membuatku berpikir dengan keras, bagaimana bisa, nun jauh di sana seseorang bisa menjadi temanku bahkan menjadi sangat akrab. Aku runut, ternyata, ada banyak tindakan kita berimplikasi terhadap masa depan.

Hidup ini sesungguhnya hidup. Dia tidak mati. Dia berdenyut, ikut merasakan apa yang terjadi dalam kehidupan. Syahdan, saat kita ikut berdenyut, kehidupanlah yang sesungguhnya berdenyut. Kita, hanya seperti pion, di mana kehidupan mengambil perannya, menggerakkan kita, lantas menuntaskannya.

Baca Selengkapnya

Perempuan dan Jilbab

Pertama sekali dalam hidupku, aku mendengar seorang perempuan menangis karena sebagian rambutnya terlihat. Padahal, semua itu terjadi di luar kesengajaannya. Hal kontras yang lain terjadi, perempuan, rela melepaskan jilbabnya demi karir, ambisi, atau cuma karena ingin dibilang cantik. Aku miris.

Awalnya begini. Tanpa sengaja, aku melihat sebuah foto yang aneh dari album seorang temanku. Awalnya aku tidak “ngeh”, aku merasa, oh mungkin saja itu foto adiknya. Tetapi, setelah aku perhatikan lebih baik, bukan, itu bukan foto adiknya. Itu foto seorang temanku. Melihat itu, aku pun segera menghubunginya, sekedar bertanya, “apa kamu sekarang sudah melepaskan jilbab? Ada fotomu tanpa jilbab di facebook.”

Baru tengah malam, aku mendapatkan telepon. Dia bertanya, apa aku tidak salah lihat?

Aku katakan, semoga saja salah. Jika memang benar, foto itu ada di album “mobile uploads”.

Beberapa saat kemudian, dia menangis, setelah mengetahui ada kebenaran dalam pertanyaanku. Sebuah fotonya tanpa jilbab hadir di sana, bersama beberapa foto kue pancake.

Aku tahu, itu di luar kesengajaannya. Dia tidak sengaja mengupload foto itu di antara beberapa foto kue yang disebarkannya lewat facebook. Aku membayangkan bola matanya yang mulai nanar, memerah bercampur air mata. Teringat jelas dalam telingaku, bagaimana sesegukan itu hadir lantas tumpah menjadi tangisan. Kekalutan, kebingungan, gundah, segalanya hadir. Semuanya itu penuh dengan penyesalan.

Baca Selengkapnya