Tentang Utang

Hadist tentang utang oleh BaihaqiKadang-kadang, sambil duduk di kedai kopi (masyarakat Aceh sangat suka duduk berlama-lama di kedai kopi sembari membicarakan apapun), aku bersama temanku sering bercerita, bertukar ide, atau bahkan saling mengejek satu sama lainnya. Hingga pada salah satu pembicaraan kami terkait utang.

Jujur, aku sendiri sangat takut terkait dengan utang. Dulu, waktu aku masih MIN (sekolah setingkat SD), karena tidak ada duit jajan (aku lupa: apa karena terlalu banyak jajan atau memang tidak diberikan) maka aku pun meminjam uang kepada temanku. Mengetahui hal tersebut, orang tuaku pun marah. Mereka tidak suka jika aku mulai berkenalan dengan utang.

Sekarang, aku pun berutang. Aku berutang kepada kakakku sekitar 2 juta rupiah lagi sisanya untuk membeli laptop ASUS N43SL, itu pun terpaksa karena laptopku yang Acer Travelmate 6293 rusak. Setiap bulan aku usahakan untuk menyicil utangku tersebut.

Utang ternyata memberiku dampak. Aku lebih merasakan stress dan presure saat berutang: Takut-takut jika aku mati, aku tidak mampu melunasi hutangku tersebut.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena hutangnya, sampai ia dibayarkan.” HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih.

Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua dosa orang yang mati syahid diampuni, kecuali hutang.” HR. Muslim.

Demi jiwaku yang ada di TanganNya, seandainya ada seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian ia dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, kemudian dihidupkan lagi dan terbunuh lagi, sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tidak akan masuk Surga sampai hutangnya dibayarkan.” HR. An-Nasa’i, hasan.

Nah, kembali kepada temanku tersebut, aku kadang bingung untuk menjelaskannya. Antara merasa takjub, atau geleng-geleng kepala. Saat aku katakan bahwa aku tidak begitu pandai dalam menagih hutang, dia ternyata sangat berani. Aku bahkan terpana.

Cara dia menagih utang sangat unik dan militan, menurutku. Dia akan terus-menerus mengirimkan SMS ke pengutang sampai orang yang berhutang tersebut malu sendiri. Selang beberapa hari, temanku tersebut akan mengirimkan SMS. Sangat gencar sehingga si pengutang akan sadar akan hutang-hutangnya tersebut. Cara ini efektif dengan embel-embel bahwa temanku tersebut juga sedang tidak memiliki uang dan amat sangat membutuhkannya sekarang.

Aku tidak menyalahkan cara improvisasi temanku tersebut dalam menagih hutang. Kadang, orang itu bisa bermuka dua di hadapan uang. Saat membutuhkan uang, mereka akan menunjukkan wajah mengiba, memelas, memohon belas kasihan, agar kita meminjamkan uang kepada mereka. Nah, pada saat yang lain, mereka akan menjadi cuek saat akan ditagih. Ada saja alasan jika kita hendak menagih hutang.

Aku pun punya problem yang sama. Ada seseorang yang berhutang kepadaku, namun jika ditagih alasannya selalu lupa. Nah, untuk lupanya itu dia akan cuek. Kadang selalu bilang sedang tidak punya uang, padahal selalu membeli hal-hal baru yang mahal. Dulu sekali, malah pernah saat akan meminjamkan uang pakai acara mengancam, mengatakan ini-itu, tetapi ketika ditagih malah cengengesan tanpa rasa bersalah. Ah, manusia…

Sekarang pun demikian. Ada seseorang yang ketika ditagih untuk utang-utangnya, dia menghindar, ngeles, dan sering beralasan tidak punya uang. Tetapi aku merasa dia pasti punya uang. Toh, dia lebih mementingkan membeli barang-barang berharga nan mahal lainnya lantas melupakan utang-utangnya tersebut kepadaku.

Aku pun menjadi muak dengan diriku sendiri. Kenapa? Karena terhadap orang-orang seperti mereka aku mulai menerapkan standar ganda. Aku melihat mereka dengan sebelah mata. Sebangsa aku, mereka itu munafik.

Ah, semoga saja mereka yang berutang kepadaku cepat sadar dan semoga aku, walau diturunkan dalam keadaan seperti itu tidak akan menerapkan standar ganda ini. Aku berharap, seburuk apapun manusia, aku tetap memandang mereka sebagai manusia. Dengan melupakan apa yang mereka perbuat dan semua dosa mereka. Karena, menurutku, yang patut untuk menilai bukan sepatutnya manusia. Manusia, telah terlalu banyak dosa. Daripada menilai dosa orang lain, mengapa tidak menghabiskan waktunya untuk menghitung dosa mereka sendiri. Ahh, manusia…