Perempuan dan Defensif

Menurutku, kebanyakan perempuan ditakdirkan untuk menjadi seseorang yang defensif. Hal tersebut sangat berguna karena posisinya yang diciptakan alam sebagai pengasuh, menjaga anak-anak serta mendidik. Berbeda dengan lelaki yang diciptakan alam dengan sifat agresif, pemburu, dan kepemimpinan.

Mau-tidak-mau, sifat defensif itu menjadi kompulsif di dalam sifat wanita. Bagaimana cara mereka menilai serta berpikir. Jika kita menggunakan algoritma kasar sebuah komputasi, mungkin begini logikanya: tolak semua apapun dari siapapun kecuali dari mereka yang diinginkan.

Ada sebuah kasus yang menarik, tentang perempuan yang defensif dan seorang lelaki yang agresif.

Seorang lelaki sedang mencintai seorang wanita. Pertama, yang terjalin adalah sebuah pertemanan. Lelaki punya maksud, maka dia berteman dengan sang wanita. Maksud tersembunyi dari si lelaki adalah agar mampu mendapatkan hati sang perempuan.

Segala hal berjalan normal, hingga pada suatu ketika lelaki mulai berbicara tentang cinta. Wanita menyukai lelaki sebagai seorang teman, tidak lebih. Dan wanita punya satu sikap buruk dalam dirinya, sesuatu yang berasal dari sifat defensif tersebut. Wanita akan meragukan sebuah pertemanan ketika seseorang mulai tertarik dengan dirinya. Sesuatu yang dia anggap melanggar kode etik keikhlasan dalam berteman.

Awalnya wanita berkata menolak!

Hal yang sama sudah pernah jauh terjadi di masa lampau. Begitu ada seseorang lelaki, berteman, menjalin persahabatan, lantas mulai jatuh cinta. Wanita pun menolak, namun kebanyakan dari mereka mundur secara teratur. Namun, ini adalah kasus yang berbeda. Seorang lelaki agresif sedang jatuh cinta.

Lelaki sering mendengar kabar. Cinta harus diraih dengan usaha. Bagaimana pun seorang wanita, walau mereka seperti karang, kelak akan luluh dengan bulir-bulir tetes cinta. Jiwa agresif lelaki yang berasal dari evolusi jutaan tahun bangkit. Menerjang segala daya-upaya demi sesuatu yang hendak diraihnya: cinta.

Untuk kedua kalinya wanita menolak. Kali ini dia mulai jengah.

Ada satu hint menarik dalam klausa kehidupan yang mungkin belum dipahami oleh lelaki: “rayuan dari seorang yang kita cintai akan membuat kita melayang, namun dari mereka yang tidak kita cintai tidak akan berarti apa-apa kecuali rasa aneh dan hambar

Umpamanya begini. Ketika kita mendapatkan hadiah dari seseorang yang kita sukai, kita akan langsung melambung ke langit. Walau mungkin hadiah itu bukan berarti apa-apa. Namun, ketika kita mendapatkan hadiah dari seseorang yang tidak kita harapkan, kejadian yang sama tidak akan berlaku. Walau mungkin si pemberi merasa ini adalah hadiah yang terbaik yang dapat diberikannya, namun kita tidak bisa memaksa perasaan yang sama kepada si penerima.

Intinya, ketika kita melakukan sesuatu, yang pantas menghakimi adalah si penerima atau obyek.

Persoalan pun menjadi rumit. Hal-hal yang biasa lelaki lakukan, apapun, mulai dirasa sebagai sebuah teror oleh perempuan. Rasa jengah. Tidak suka. Akumulasi menjadi satu kesatuan. Sosok lelaki mulai berubah bentuk menjadi psikopat.

Sebenarnya, kedua pihak di dalam cerita di atas tidak bersalah. Yang satu mencoba berusaha mendapatkan cintanya. Yang lain hidup dalam dunia defensifnya. Yang mereka perlukan hanyalah rasa saling memahami. Lelaki mencoba memahami sang wanita dengan meredakan keagresifannya, dan wanita mencoba membuka hati kepada seseorang yang mungkin saja sangat tulus mencintainya.

Sifat defensif sebenarnya sangat berguna terutama di dunia dengan semakin liar dan agresifnya kaum lelaki. Namun, segala sesuatu memiliki kadar yang jika terlalu berlebihan atau kekurangan akan timbul non-equilibrium. Segala hal memiliki patokan batas dengan kadar toleransi yang diijinkan. Kalau dalam dunia permesinan, dalam membuat sebuah komponen ada yang disebut dengan faktor keamanan.

Lelaki yang sedang jatuh cinta, kadang ketika diingatkan tidak akan mengerti. Karena dia begitu haus akan cinta.